Jadi Yang Aku Mau - Part 4

Reza nggak berani ikut campur, dia memilih masuk kamarnya dan berharap semuanya akan cepat membaik.
Disisi lain, Laura sudah benar-benar kacau. Dia nggak tahu harus bagaimana, dia benar-benar putus asa. Laura mengalihkan pandangannya kemeja belajar dan melihat sebuah gunting besar yang sering dia gunakan untuk memotong bahan. Tanpa pikir panjang dia mengambil gunting itu dan langsung menggoreskannya di pergelangan tangan kirinya hingga banyak sekali darah Laura yang berceceran dilantai.

Pikiran Reza juga kacau, dia nggak tahu harus berbuat apa dan harus bersikap seperti apa. Suasana malam itu memang panas. Darah Laura terus bercucuran dilantai kamarnya, Laura hilang kesadarannya. Reza makin bingung harus ngapain dan akhirnya dia keluar dari kamarnya, dia masih bingung harus berbuat apa, dia terus mondar-mandir didepan kamar Laura yang terkunci dari luar.

Reza menghela napas, akhirnya dia memberanikan diri untuk sedikit melihat keadaan didalam kamar Laura lewat lubang kunci yang ada dipintu.
Reza terkejut melihat keadaan didalam, “Laura!”, teriaknya keras sekali sambil mencoba membuka pintu.

Tapi dia tidak bisa, akhirnya dia turun dan memberitahukan kondisi Laura sekarang pada Ayah dan Bunda Laura. Ketiganya bergegas menuju kamar Laura dan berusaha membuka pintu itu, akhirnya pintu terbuka dan nampaklah tubuh Laura yang tergolek lemah di lantai dengan darah yang terus keluar dari pergelangan tangan kiri Laura.

“Laura”, ucap Ayah dan Bunda bersamaan.
Bunda langsung mengambil kain untuk menutupi luka Laura.
“Reza, cepat siapin mobil!” perintah Ayah Laura pada Reza.
Dengan cepat Reza ke garasi dan menyiapkan mobil, Ayah membopong Laura ke mobil, Bunda menangis histeris. Ketiganya membawa Laura kerumah sakit malam itu juga.

Mbok Ijah langsung menelpon Sari mengabarkan atas semua yang terjadi pada Laura, Sari terkejut, Citra dan Sherly yang masih ada dirumah Sari langsung menuju ke rumah sakit yang menjadi tujuan Laura diobati.

Laura langsung masuk UGD untuk mendapatkan penanganan, Bundanya ikut membantu penanganannya, Ayah dan Reza menunggu di ruang tunggu. Nggak lama kemudian Sari, Citra, dan Sherly sampai juga disana. Mereka juga menangis histeris dan mencoba meminta maaf pada Ayah Laura atas apa yang mereka lakukan tadi siang di kompetisi itu.

“Maaf mbok, Laura ada?”, tanya Arya pada Mbok Ijah.
Mbok Ijah menjawab dengan terbata-bata, “Non Laura tadi dibawa kerumah sakit.”
“Kerumah sakit? Laura sakit apa?”
“Em mm Non Laura nyoba bunuh diri.”

Setelah mendengar itu Arya langsung bergegas menuju rumah sakit yang Mbok Ijah sebutkan. Arya sangat khawatir dengan keadaan Laura seperti apa sekarang ini, tak terasa air matanya menetes ditengah perjalanan menuju rumah sakit.

“Ayah, Laura butuh banyak darah dan di PMI stok darah AB resus negatif itu kosong”, ucap Bunda yang keluar dari UGD.
Ayah langsung berdiri, “Tenang Bunda, darah Ayah sama darah Laura sama.”
Ayah langsung pergi bersama seorang suster untuk mengambil darah Ayah yang nantinya akan didonorkan kepada Laura.

“Maaf dok, hemoglobin darah dokter rendah. Jadi tidak bisa untuk didonorkan”, ucapan suster yang membuat Ayah Laura terkejut.

Ayah Laura sedikit putus asa, karena golongan darah ini sulit untuk dicari. Dengan segera Ayah Laura keluar dan menanyakan tentang golongan pengunjung yang ada dirumah sakit, dan tak ada yang satupun berdarah yang sama dengan Laura. Sampai akhirnya Arya datang, “Darah saya AB resus negative Om!”.

Terlihat Ayah Laura tersenyum lebar, segera Arya ditariknya menuju sebuah ruangan untuk mendonorkan darah. Dan ternyata setelah di cek darahnya Arya cocok untuk Laura dan hemoglobinnya mencukupi.

Laura belum juga sadar, luka ditangannya sudah dijahit tapi keadaannya belum membaik karena banyak darahnya yang terbuang.
“Aku mau jadi diri aku sendiri”, ucap lirih samar-samar Laura.
Bundanya mendengar dan membuatnya sangat merasa bersalah. Nggak lama kemudian Ayah Laura dan suster datang membawa darah untuk Laura. ada pancaran sinar harapn dari semua yang ada disitu.

Tiba-tiba Arya muncul dengan sedikit pucat karena darahnya tadi diambil, dia berjalan menuju tempat duduk yang ada diseberang tempat duduk Reza, Sari, Citra, dan Sherly. Raut muka Arya bener-bener menggambarkan kondisi dirinya yang syok akibat berita bunuh dirinya Laura.

Malam semakin larut, belum ada kabar lagi tentang Laura. Semuanya tetap menunggu Laura.
Bunda Laura keluar dan menyuruh mereka untuk pulang karena Laura sudah melewati masa kritisnya walaupun Laura belum sadar. Akhirnya mereka pulang kecuali Arya yang kekeh untuk tetap ada disitu, dan Bunda pun membiarkannya.

Malam berganti pagi, Arya terbangun dari tidurnya karena mendengar suara adzan. Ia bangkit dan pergi menuju masjid untuk melaksanakan kewajibannya. Dalam doanya tak lupa dia mendoakan yang terbaik untuk Laura, berdoa untuk kesembuhan Laura.
Setelah selesai sholat Arya kembali lagi ke ruang tunggu UGD dan bertemu dengan Ayah Laura.

“Laura sudah dipindah ke kamar perawatan, kondisi dia makin membaik.”
“Alhamdulillah”, ucap syukur Arya.
Keduanya berjalan menuju kamar rawat Laura.
Bunda sedang duduk disamping ranjang Laura, berharap anak semata wayangnya itu segera sadar dan pulih seperti semula.

Ayah datang dan langsung merangkul Bunda, “Ini salah kita. Kita yang terlalu egois.”
Bunda hanya menangis.
Mereka cukup lama ada disitu sampai akhirnya mereka keluar karena ada jadwal praktek, mereka menyuruh Arya untuk menemani Laura yang belum sadar juga. Karena semalem Arya kurang tidur, dia tertidur di samping Laura dengan posisi duduk. Wajahnya memang terlihat capek.

Nggak lama setelah Arya tertidur ada reaksi-reaksi yang menandakan Laura sudah siuman. Dia membuka matanya dan menyadari kalau sekarang dirinya ada di rumah sakit dengan Arya yang masih tertidur karena menjaganya. Laura mencoba mengangkat tangan kirinya yang masih diperban. Dia sedikit menahan rasa sakit, dengan tangan kirinya dia mencoba untuk melepaskan selang infusan serta selang transfusi darahnya tapi terhenti karena Arya yang buru-buru menghentikannya.

“Aku nggak ada hak buat hidup lagi! Aku mau pergi dari semua ini!”, ucap Laura sambil meronta.
Arya masih mencoba menahannya, “Kamu bodoh! Cara kayak gini nggak bakal nyelesein semuany!”.

Tiba-tiba ada Ayah dan Bunda Laura yang masuk kekamar dan terkejut melihat Laura, ketiganya mencoba menyadarkan Laura. Semuanya mencoba meyakinkan Laura kalau segalanya bakalan lebih baik lagi, karena Ayah dan Bundanya sudah memperbolehkan Laura jadi seperti apa yang dia mau.

“Nggak ada dokter lagi, fashion designer atau apalah itu asal kamu bahagia, Ayah dan Bunda bakalan terus ngedukung kamu”, ucap Ayah untuk meyakinkan Laura.
Tangisan Laura pecah, tapi dia sudah lebih terkontrol, Arya keluar dari kamar dan membiarkan mereka bertiga ada di dalam untuk menyelesaikan semuanya.

Lima belas menit kemudian Ayah dan Bunda keluar dari kamar Laura dengan wajah yang gembira dan menyuruh Arya untuk masuk lagi, tapi sebelumnya ada suster yang akan memberi obat untuk Laura dan ada seorang lagi yang membawa jatah makan untuk Laura.

laura & arya


Keadaan Laura mulai membaik, walaupun wajahnya masih terlihat pucat tapi suasana hatinya sekarang sangat bahagia karena dia mendapat restu akan apa yang dia sukai tersebut.
“Makan dulu ya”, Arya bersiap menyuapi Laura.
“Aku nggak laper.”
Arya memaksa, “Jangan egois, kamu nggak kasihan sama tubuh kamu?”.
Mendengar kaliamat itu Laura sedikit luluh, akhirnya dia pun memakan makanan itu.

nantikan Jadi Yang Aku Mau episode terakhir di postingan berikutnya :)



0 komentar :

Post a Comment